top of page

Perlukah melakukan audit budaya?

Ketika pada suatu kesempatan saya bertanya ke klien, seperti apa budaya organisasi anda? Jawabnya adalah budaya kami adalah integritas dan kepuasan pelanggan. Apa benar itu budaya?


Menurut saya, budaya adalah bagaimana bisnis atau bagaimana organisasi kita beroperasi – how we do things - how things are done in the organization. Sementara, integritas dan kepuasan pelanggan diatas adalah contoh dari nilai organisasi, yang seharusnya menjadi salah satu landasan yang membentuk bagaimana organisasi itu bekerja, yaitu semua aktivitasnya harus berdasarkan integritas dan bertujuan untuk memberikan kepuasan pelanggan.


Nah, apa benar organisasi ini sudah berhasil membentuk budaya yang penuh integritas dan menjunjung tinggi kepuasan pelanggan? Atau hanya jargon saja?


Misalnya di laporan WBS banyak aduan mengenai dugaan praktik korupsi dan dugaan praktik suap. Laporan tersebut ditutup dengan alasan tidak ada spesifik detail mengenai transaksi atau tidak ada bukti pendukung yang disampaikan. Sepakat bahwa laporan WBS berupa dugaan dan belum tentu benar adanya, dan sepakat bahwa tanpa bukti dan informasi lengkap kita tidak bisa melakukan review terhadap laporan spesifik tersebut, namun apabila laporan dengan tema sejenis sudah berulang, maka bila integritas sudah melekat pada budaya kita, ini akan menjadi perhatian untuk mereview proses bisnis terkait untuk mengetahui apakah ada risiko-risiko tersebut dan apakah sudah ada pengendalian internal yang dibuat dan dijalankan dengan konsisten untuk memitigasi risiko korupsi atau suap di proses tersebut secara umum. Juga mengenai kepuasan pelanggan, diihat bahwa banyak keluhan konsumen yang tidak ditindaklanjuti, dan di media sosial, pertanyaan pelanggan lama sekali di respon dan pada saatnya di respon, jawabannya normatif dan tidak berusaha memberikan solusi atau opsi bantuan lanjutan. Kalau seperti ini, apa benar kepuasan pelanggan sudah menjadi budaya?


Memang kesannya tidak penting untuk memastikan budaya yang diinginkan sudah terbentuk dalam car akita bekerja di dalam organisasi. Namun sebenarnya budaya punya dampak pada pengelolaan bisnis, pada output produk atau jasa yang dihasilkan, pada kesetiaan pelanggan, pada reputasi organisasi, dan seterusnya, yang semuanya punya pengaruh pada bottom-line dari organisasi.


Ada beberapa cultural red flags, antara lain hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek, mengartikan peraturan perundangan secara letterlijk atau secara harfiah dan tidak mengintrepretasikannya secara luas, praktik manajemen risiko yang belum matang, kebiasaan untuk tidak menindaklanjuti isu isu penting, sering menutupi suatu kondisi atau permasalahan yang ada, dan takut memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok yang lebih besar.


Jadi bagaimana kita mereview budaya? Memang tidak mudah… bukan karena sangat sulit untuk melakukan hal tersebut, namun karena pelaksanaan review banyak menyangkut hal-hal sensitif dan memerlukan keberanian untuk menanyakan komitmen pimpinan, sehingga banyak yang menghindari hal ini.


Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan bila ingin melakukan review terhadap budaya ini.


Kesadaran terhadap risiko dan pengendalian. Lakukan review atau assessment terhadap lingkungan pengendalian dan kode etik. Apakah manajemen sadar adanya risiko dan pengendalian di area ini?


Review framework yang ada. Coba lihat apakah nilai-nilai Perusahaan sudah tercermin dalam strategi bisnis, selera risiko, dan apakah juga sudah melekat dalam kebijakan dan prosedur di organisasi terkait benturan kepentingan, kebijakan kredit, rekrutmen dan retensi karyawan, penanganan keluhan, pelaporan pelanggaran atau WBS.


Pengukuran dan monitoring. Budaya perlu diukur dan di monitor agar bisa ada sesuatu yang dilakukan bila ternyata melenceng dari ekspektasi dan standar yang ingin dibentuk. Pengukuran bisa dilakukan dengan antara lain dengan melihat konsistensi pelaksanaan pengendalian, laporan WBS< hasil audit internal dan eksternal, banyaknya isu berulang dan tidak ditindaklanjuti, survey karyawan, pelatihan yang dilakukan, survey konsumen.


Hasil dari beberapa aktivitas diatas dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh budaya yang diinginkan sudah terbentuk, gap yang mungkin ada, dan rencana tindak lanjut untuk terus menguatkan budaya yang diinginkan.



Masyarakat kini semakin kritis melihat bagaimana budaya sebuah organisasi, harapannya adalah organisasi di sektor manapun punya budaya yang baik dan punya mekanisme untuk mengelola dan mengukurnya. Proses yang dijalankan harus mencerminkan bahwa nilai organisasi melekat dan terasa dalam pengambilan keputusan. Mereview atau mengaudit budaya kini bukan sesuatu yang luar biasa, namun perlu menjadi praktik yang dilakukan rutin secara periodik.

Opmerkingen


bottom of page